Thursday 31 January 2019

Nilai Pancasila Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Nilai-Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Pengkajian Pancasila secara filosofis dimaksudkan untuk mencapai hakikat atau makna terdalam dari Pancasila. Berdasarkan analisis makna nilai-nilai Pancasila diharapkan akan diperoleh makna yang akurat dan mempunyai nilai filosofis. 

Dengan demikian, penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut :

a. Nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

1) Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
2) Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
3) Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memeluk agama sesuai hukum yang berlaku.
4) Atheisme dilarang hidup dan berkembang di Indonesia.
5) Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antarumat dan dalam beragama.
6) Negara memfasilitasi bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik antar agama.

b. Nilai Sila Kemanusian yang Adil dan Beradab

1) Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makluk Tuhan. Karena manusia mempunyai sifat universal.
2) Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, hal ini juga bersifat universal.
3) Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Hal ini berarti bahwa yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan dan peradaban yang tidak pasif, yaitu perlu pelurusan dan penegakan hukum yang kuat jika terjadi penyimpangan-penyimpangan, karena Keadilan harus direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Nilai Sila Persatuan Indonesia

1) Nasionalisme
2) Cinta bangsa dan tanah air
3) Menggalang persatuan dan kesatuan bangsa
4) Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit.
5) Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggulangan.

d. Nilai Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

1) Hakikat Sila ini adalah demokrasi. Demokrasi dalam arti umum, yaitu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
2) Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Di sini terjadi simpul yang penting yaitu mengusahakan putusan bersama secara
bulat.
3) Dalam melakukan putusan diperlukan kejujuran bersama. Hal yang perlu diingat bahwa keputusan bersama dilakukan secara bulat sebagai konsekuensi adanya kejujuran bersama.
4) Perbedaan secara umum demokrasi di negara barat dan di negara Indonesia, yaitu terletak pada permusyawaratan rakyat.

e. Nilai Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

1) Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan berkelanjutan.
2) Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing.
3) Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.


Demikian catatan kecil MaoliOka tentang Nilai-Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara semoga bermanfaat.

Berbusana Muslim

A. Memahami Makna Busana Muslim/Muslimah dan Menutup Aurat
1. Makna Aurat
Menurut bahasa, aurat berati malu, aib, dan buruk. Kata aurat berasal dari kata awira yang artinya hilang perasaan. Jika digunakan untuk mata,berarti hilang cahayanya dan lenyap pandangannya. Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan dan mengecewakan.
Menurut istilah dalam hukum Islam, aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.
2. Makna Jilbab dan Busana Muslimah Secara Etimologi
Jilbab adalah sebuah pakaian yang longgar untuk menutup seluruh tubuh perempuan kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalam bahasa Arab, jilbab dikenal dengan istilah khimar, dan bahasa Inggris jilbab dikenal dengan istilah veil. Selain kata jilbab untuk menutup bagian dada hingga kepala wanita untuk menutup aurat perempuan, dikenal pula istilah kerudung, Hijab, dan sebagainya.
Pakaian adalah barang yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya). Dalam bahasa Indonesia, pakaian juga disebut busana. Jadi, busana muslimah artinya pakaian yang dipakai oleh perempuan. Pakaian perempuan yang beragama Islam disebut busana muslimah. Berdasarkan makna tersebut, busana muslimah dapat diartikan sebagai pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama untuk menutupinya, guna kemaslahatan dan kebaikan wanita itu sendiri serta masyarakat di mana ia berada.
Perintah menutup aurat sesungguhnya adalah perintah Allah Swt. yang dilakukan secara bertahap. Perintah menutup aurat bagi kaum perempuan pertama kali diperintahkan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. agar tidak berbuat seperti kebanyakan perempuan pada waktu itu (Q.S. Al- Ahzāb[33] : Ayat 32

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Artinya : " Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (Q.S. Al- Ahzāb[33] : Ayat 33.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya : " dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw. agar tidak berhadapan langsung dengan laki-laki bukan mahramnya (Q.S.Al-Ahzāb [33] Ayat :53). Selanjutnya, karena istri-istri Nabi saw. juga perlu keluar rumah untuk mencari kebutuhan rumah tangganya, Allah Swt. memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah (Q.S. al-Ahzāb/33:59). Dalam ayat ini, Allah Swt. memerintahkan untuk memakai jilbab, bukan hanya kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. dan anak-anak perempuannya, tetapi juga kepada istri-istri orang-orang yang beriman. Dengan demikian, menutup aurat atau berbusana muslimah adalah wajib hukumnya bagi seluruh wanita yang beriman.

B. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang Perintah Berbusana Muslim/Muslimah
1. Q.S. Al-Ahzab[33] Ayat : 59
 
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا 
Artinya : " Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Q.S. An-Nµr[24] Ayat : 31
 
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : "Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Kandungan Q.S. Al-Ahzāb[33] Ayat :59
Dalam ayat ini, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan kepada para istrinya dan juga sekalian wanita mukminah termasuk anak-anak perempuan beliau untuk memanjangkan jilbab mereka dengan maksud agar dikenali dan membedakan dengan perempuan nonmukminah. Hikmah lain adalah agar mereka tidak diganggu. Karena dengan mengenakan jilbab, orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang mukminah yang baik. Pesan al-Qur’ān ini datang menanggapi adanya gangguan kafir Quraisy terhadap para mukminah terutama para istri Nabi Muhammad saw. yang menyamakan mereka dengan budak. Karena pada masa itu, budak tidak mengenakan jilbab. Oleh karena itulah, dalam rangka melindungi kehormatan dan kenyamanan para wanita, ayat ini diturunkan. Islam begitu melindungi kepentingan perempuan dan memperhatikan kenyamanan mereka dalam bersosialisasi. Banyak kasus terjadi karena seorang individu itu sendiri yang tidak menyambut ajakan al-Qur’ān untuk berjilbab. Kita pun masih melihat di sekeliling kita, mereka yang mengaku dirinya muslimah, masih tanpa malu mengumbar auratnya. Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya rasa malu dan keimanan selalu bergandengan kedua-duanya. Jika salah satunya diangkat, maka akan terangkat keduaduanya.” Hadis Sahih berdasarkan syarah Syeikh Albani dalam kitab Adabul Mufrad) Kandungan Q.S. An-Nµr[24] Ayat : 31
Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman kepada seluruh hamba-Nya yang mukminah agar menjaga kehor matan diri mereka dengan cara menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan menjaga aurat. Dengan menjaga ketiga hal tersebut, dipastikan kehormatan mukminah akan terjaga. Ayat ini merupakan kelanjutan dari perintah Allah Swt. kepada hamba-Nya yang mukmin untuk menjaga pandangan dan menjaga kema uan. Ayat ini Allah Swt. khususkan untuk hamba-Nya yang beriman, berikut penjelasannya.
Pertama, menjaga pandangan. Pandangan diibaratkan “panah setan” yang siap ditembakkan kepada siapa saja. “Panah setan” ini adalah panah yang jahat yang merusakan dua pihak sekaligus, si pemanah dan yang terkena panah. Rasulullah saw. juga bersabda pada hadis yang lain, “Pandangan mata itu merupakan anak panah yang beracun yang terlepas dari busur iblis, barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Swt., maka Alla Swt. akan memberinya ganti dengan manisnya iman di dalam hatinya.” (Lafal hadis yang disebutkan tercantum dalam kitab Ad-Da’wa Dawa’ karya Ibnul Qayyim).
Panah yang dimaksud adalah pandangan liar yang tidak menghargai kehormatan diri sendiri dan orang lain. Zina mata adalah pandangan haram. Al-Qurān memerintahkan agar menjaga pandangan ini agar tidak merusak keimanan karena mata adalah jendela hati. Jika matanya banyak melihat maksiat yang dilarang, hasilnya akan langsung masuk ke hati dan merusak hati. Dalam hal ketidaksengajaan memandang sesuatu yang haram, Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ra., “Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang kedua)” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasan-kan oleh Syaikh al-Albani).
Kedua, menjaga kemaluan. Orang yang tidak bisa menjaga kemaluannya pasti tidak bisa menjaga pandangannya. Hal ini karena menjaga kemaluan tidak akan bisa dilakukan jika seseorang tidak bisa menjaga pandangannya. Menjaga kemaluan dari zina adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kehormatan. Karena dengan terjerumusnya ke dalam zina, bukan hanya harga dirinya yang rusak, orang terdekat di sekitarnya seperti orang tua, istri/ suami, dan anak akan ikut tercemar. “Dan, orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya, mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang sebaliknya, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Ma’ārij/70:29-31).
Allah Swt. sangat melaknat orang yang berbuat zina, dan menyamaratakannya dengan orang yang berbuat syirik dan membunuh.
Sungguh, tiga perbuatan dosa besar yang amat sangat dibenci oleh Allah Swt. Firman-Nya: “Dan, janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. alIsrā’/17:32).
Ketiga, menjaga batasan aurat yang telah dijelaskan dengan rinci dalam hadis-hadis Nabi. Allah Swt. memerintahkan kepada setiap mukminah untuk menutup auratnya kepada mereka yang bukan muhrim, kecuali yang biasa tampak dengan memberikan penjelasan siapa saja boleh melihat. Di antaranya adalah suami, mertua, saudara laki-laki, anaknya, saudara perempuan, anaknya yang laki-laki, hamba sahaya, dan pelayan tua yang tidak ada hasrat terhadap wanita.
Di samping ketiga hal di atas, Allah Swt. menegaskan bahwa walaupun auratnya sudah ditutup namun jika berusaha untuk ditampakkan dengan berbagai cara termasuk dengan menghentakkan kaki supaya gemerincing perhiasannya terdengar, hal itu sama saja dengan membuka aurat. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan perintah untuk bertaubat karena hanya dengan taubat dari kesalahan yang dilakukan dan berjanji untuk mengubah sikap, kita akan beruntung (Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti_ 27)

3. Hadis dari Ummu ‘A¯iyyah
Dari Umu ‘A'iyah, ia berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Ad'ha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan śalat, namun mereka dapat menyaksikan  kebai kan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Hendaklah saudari Nya meminjamkan jilbabnya kepadanya.’”(H.R. Muslim).
a. Kandungan Hadist
Kandungan hadis di atas adalah perintah Allah Swt. kepada para wanita untuk menghadiri prosesi śalat I'´dul Fitri dan I´dul Adha, walaupun dia sedang haid, sedang dipingit, atau tidak memiliki Jilbab. Ba gi yang sedang haid, maka cukup mendengarkan khutbah tanpa perlu melakukan śalat berjama’ah seper ti yang lain. Wanita yang tidak punya jilbab pun bisa meminjamnya dari wanita lain.
Hal ini menunjukkan pentingnya dakwah/khutbah kedua śalat ‘idain. Kandungan hadis yang kedua, ya ng diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi tentang kemurkaan Allah Swt. terhadap orang yang menjulur kan pakaiannya dengan maksud menyombongkan diri.
Aktivitas 1:
Carilah melalui berbagai media, para aktris/aktor atau public figure yang telah mengubah penampilan cara berpakaiannya secara islami. Kemudian, berilah kesimpulan tentang perubahan penampilan ter sebut, apakah sudah mencerminkan sikap pribadi yang baik ataukah belum!
Aktivitas 2:
Akhir-akhir ini muncul perdebatan tentang penggunaan jilbab di kalangan polisi wanita (Polwan) oleh Mabes Polri. Ada pihak yang tidak menyetujui dengan rencana tersebut dengan alasan yang belum jelas. Kemukakan pendapat kamu tentang hal tersebut! Bagaimana dengan larangan di sejumlah perusaan atau dunia kerja terhadap pekerja yang berjilbab?
Aktivitas 3:
Carilah ayat al-Qur’ān dan hadis yang berhubungan dengan perintah mengenakan busana muslim dan muslimah atau perintah menutup aurat! .
Menerapkan Perilaku Mulia Mengenakan busana yang sesuai dengan syari’at Islam bertujuan agar manusia terjaga kehormatannya. Ajaran Islam tidak bermaksud untuk membatasi atau mempersulit gerak dan langkah umatnya. Justru dengan aturan dan syari’at tersebut, manusia akan terhindar dari berbagai kemungkinan yang akan mendatangkan bencana dan kemudaratan bagi dirinya.
Berikut ini beberapa perilaku mulia yang harus dilakukan sebagai pengamalan berbusana sesuai sya ri’at Islam, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
1. Sopan-santun dan ramah-tamah
Sopan-santun dan ramah-tamah merupakan ciri mendasar orang yang beriman. Mengapa demikian? Karena ia merupakan salah satu akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai teladan dan panutan. Rasulullah adalah orang yang santun dan lembut perkataannya serta ramah-tamah prilakunya. Hal itu ia tunjukan bukan saja kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, tetapi kepada orang lain bahkan kepada orang yang me-musuhinya sekalipun.
2. Jujur dan amanah
Jujur dan amanah adah sifat orang-orang beriman dan saleh. Tidak akan keluar perkataan dusta dan perilaku khianat jika seseorang benar-benar berimankepada Allah Swt. Orang yang membiasakan diri dengan hidup jujur dan amanah, maka hidupnya akan diliputi dengan kebahagiaan. Betapa tidak, banyak orang yang hidupnya gelisah dan menderita karena hidupnya penuh dengan dusta. Dusta adalah seburuk-buruk perkataan.
3. Gemar beribadah
Beribadah adalah kebutuhan ruhani bagi manusia sebagaimana olah raga,makan, minum, dan istirahat sebagai kebutuhan jasmaninya. Karena ibadah adalah kebutuhan, maka tidak ada alasan orang yang beriman untuk melalaikan atau meninggalkannya. Malahan, ia akan dengan senang hati melakukannya tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun.
4. Gemar menolong sesama
Menolong orang lain pada hakikatnya menolong diri sendiri. Bagi orang yang beriman, menolong dengan niat ikhlas karena Allah Swt. semata akan mendatangkan rahmat dan karunia yang tiadatara. Berapa banyak orang yang ngemar membantu orang lain hidupnya mulia dan terhormat. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang kikir dan enggan membantu orang lain, dapat dipastikan ia akan mengalami kesulitan hidup di dunia ini. Tolonglah orang lain, niscaya pertolongan akan datang kepadamu meskipun bukan berasal dari orang yang kamu tolong!
5. Menjalankan amar makruf dan nahi munkar

Maksud amar makruf dan nahi munkar adalah mengajak dan menyeru orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah orang lain melakukan kemunkaran/ kemaksiatan. Hal ini dapat dilakukan dengan efektif jika ia telah memberikan contoh yang baik bagi orang lain yang diserunya. Tugas mulia tersebut haruslah dilakukan oleh setiap orang yang beriman. Ajaklah orang lain berbuat kebaikan dan cegahlah ia dari kemunkaran!

Aku selalu dekat dengan Allah SWT

A. Memahami Makna al-Asma’u al-Husna: al-Karim, al-Mu’min, al-Wakil, al-Matin, al-Jāmi’, al-‘Adl, dan al-Ākhir.

1.   Pengertian al-Asma’u al-Husna

Al-Asma’u al-Husna terdiri atas dua kata, yaitu asmā yang berarti nama-nama, dan husna yang berarti baik atau indah. Jadi, al-Asma’u al-Husna dapat diartikan sebagai nama-nama yang baik lagi indah yang hanya dimiliki oleh Allah Swt. sebagai bukti keagungan-Nya. Kata al-Asma’u al-Husna diambil dari ayat al-Qur’ān Q.S. Tāhā/20:8. yang artinya, “Allah Swt. tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia memiliki al-Asma’u al-Husna (nama-nama baik)“.

2.   Dalil tentang al-Asma’u al-Husna

a.   Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-A’rāf/7:180
Artinya: “Dan Allah Swt. memiliki asmā’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama-Nya yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) namanama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al A’rāf/7:180)

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa al-Asma’u al-Husna merupakan amalan yang bermanfaat dan mempunyai nilai yang tak terhingga tingginya. Berdoa dengan menyebut al-Asma’u al-Husna sangat dianjurkan menurut ayat tersebut.

b.   Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (H.R. Bukhari)

Berdasarkan hadis di atas, menghafalkan al-Asma’u al-Husna akan mengantarkan orang yang melakukannya masuk ke dalam surga Allah Swt. Apakah hanya dengan menghafalkannya saja seseorang akan dengan mudah masuk ke dalam surga? Jawabnya, tentu saja tidak, bahwa menghafalkan al-Asma’u al-Husna harus juga diiringi dengan menjaganya, baik menjaga hafalannya dengan terus-menerus menzikirkannya, maupun menjaganya dengan menghindari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah Swt. dalam al-Asma’u al-Husna tersebut.

B. Memahami makna al-Asma’u al-Husna: al-Karim, al-Mu’min, al-Wakil, al-Matin, al-Jāmi’, al-‘Adl, dan al-Ākhir. Mari pelajari dan pahami satu-persatu asmā’ul husna tersebut!

1.   Al-Karim

Secara bahasa, al-Karim mempunyai arti Yang Mahamulia, Yang Maha Dermawan atau Yang Maha Pemurah. Secara istilah, al-Karim diartikan bahwa Allah Swt. Yang Mahamulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki kepada semua makhluk-Nya. Dapat pula dimaknai sebagai Zat yang sangat banyak memiliki kebaikan, Maha Pemurah, Pemberi Nikmat dan keutamaan, baik ketika diminta maupun tidak. Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:
Artinya: “Hai manusia apakah yang telah memperdayakanmu terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah?” (Q.S. al-Infi¯ār:6)

Al-Karim dimaknai Maha Pemberi karena Allah Swt. senantiasa memberi, tidak pernah terhenti pemberian-Nya. Manusia tidak boleh berputus asa dari kedermawanan Allah Swt. jika miskin dalam harta, karena kedermawanan-Nya tidak hanya dari harta yang dititipkan melainkan meliputi segala hal. Manusia yang berharta dan dermawan hendaklah tidak sombong jika telah memiliki sifat dermawan karena Allah Swt. tidak menyukai kesombongan. Dengan demikian, bagi orang yang diberikan harta melimpah maupun tidak dianugerahi harta oleh Allah Swt., keduanya harus bersyukur kepada-Nya karena orang yang miskin pun telah diberikan nikmat selain harta.

Al-Karim juga dimaknai Yang Maha Pemberi Maaf karena Allah Swt. memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah Swt., kemudian hamba itu mau bertaubat kepada Allah Swt. Bagi hamba yang berdosa, Allah Swt. adalah Yang Maha Pengampun. Dia akan mengampuni seberapa pun besar dosa hamba-Nya selama ia tidak meragukan kasih sayang dan kemurahan-Nya.

Menurut imam al-Gazali, al-Karim adalah Dia yang apabila berjanji, menepati janjinya, bila memberi, melampaui batas harapan, tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi dan tidak rela bila ada kebutuhan dia memohon kepada selain-Nya, meminta pada orang lain. Dia yang bila kecil hati menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapa yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak membutuhkan sarana atau perantara.

2.   Al-Mu’min

Al-Mu’min  secara bahasa berasal dari kata amina yang berarti pembenaran, ketenangan hati, dan aman. Allah Swt. al-Mu’min  artinya Dia Maha Pemberi rasa aman kepada semua makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Dengan begitu, hati manusia menjadi tenang. Kehidupan ini penuh dengan berbagai permasalahan, tantangan, dan cobaan. Jika bukan karena Allah Swt. yang memberikan rasa aman dalam hati, niscaya kita akan senantiasa gelisah, takut, dan cemas. Perhatikan firman Allah Swt. berikut!
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’ām/6:82)

Ketika kita akan menyeru dan berdoa kepada Allah Swt. dengan nama-Nya al-Mu’min, berarti kita memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah, bencana dan siksa. Karena Dialah Yang Maha Memberikan keamanan, Dia yang Maha Pengaman. Dalam nama al-Mu’min  terdapat kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Ada pertolongan dan perlindungan, ada jaminan (insurense), dan ada bala bantuan.

Berzikir dengan nama Allah Swt. al-Mu’min di samping menumbuhkan dan memperkuat keyakinan dan keimanan kita, bahwa keamanan dan rasa aman yang dirasakan manusia sebagai makhluk adalah suatu rahmat dan karunia yang diberikan dari sisi Allah Swt. Sebagai al-Mu’min,  yaitu Tuhan Yang Maha Pemberi Rasa Aman juga terkandung pengertian bahwa sebagai hamba yang beriman, seorang mukmin dituntut mampu menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan rasa aman terhadap lingkungannya.

Mengamalkan dan meneladani al-Asma’u al-Husna al-Mu’min, artinya bahwa seorang yang beriman harus menjadikan orang yang ada di sekelilingnya aman dari gangguan lidah dan tangannya. Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasulullah saw.?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).

3.   Al-Wakil

Kata “al-Wakil” mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil (Yang Maha Mewakili atau Pemelihara), yaitu Allah Swt. yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Dia menyelesaikan segala sesuatu yang diserahkan hambanya tanpa membiarkan apa pun terbengkalai. Firman-Nya dalam alQur’ān:
Artinya: “Allah Swt. pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar/39:62)

Dengan demikian, orang yang mempercayakan segala urusannya kepada Allah Swt., akan memiliki kepastian bahwa semua akan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh hamba yang mengetahui bahwa Allah Swt. yang Mahakuasa, Maha Pengasih adalah satu-satunya yang dapat dipercaya oleh para hamba-Nya. Seseorang yang melakukan urusannya dengan sebaik-baiknya dan kemudian akan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. untuk menentukan karunia-Nya.

Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Swt. melahirkan sikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti mengabaikan sebab-sebab dari suatu kejadian. Berdiam diri dan tidak peduli terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap malas. Ketawakkalan dapat diibaratkan dengan menyadari sebab-akibat. Orang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakkallah kepada Allah Swt.” Manusia harus menyadari bahwa semua usahanya adalah sebuah doa yang aktif dan harapan akan adanya pertolongan-Nya. Allah Swt. berfirman yang artinya, “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Swt. Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.“ (Q.S. al-An’ām/6:102)

Hamba al-Wakil adalah yang bertawakkal kepada Allah Swt. Ketika hamba tersebut telah melihat “tangan” Allah Swt. dalam sebab-sebab dan alasan segala sesuatu, dia menyerahkan seluruh hidupnya di tangan al-Wakil.

4.   Al-Matin

Al-Matin artinya Mahakukuh. Allah Swt. adalah Mahasempurna dalam kekuatan dan kekukuhan-Nya. Kekukuhan dalam prinsip sifat-sifat-Nya. Allah Swt. juga Mahakukuh dalam kekuatan-kekuatan-Nya. Oleh karena itu, sifat al-Matin adalah kehebatan perbuatan yang sangat kokoh dari kekuatan yang tidak ada taranya. Dengan begitu, kekukuhan Allah Swt. yang memiliki rahmat dan azab terbukti ketika Allah Swt. memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada apa pun yang dapat menghalangi rahmat ini untuk tiba kepada sasarannya. Demikian juga tidak ada kekuatan yang dapat mencegah pembalasan-Nya.

Seseorang yang menemukan kekuatan dan kekukuhan Allah Swt. akan membuatnya menjadi manusia yang tawakkal, memiliki kepercayaan dalam jiwanya dan tidak merasa rendah di hadapan manusia lain. Ia akan selalu merasa rendah di hadapan Allah Swt. Hanya Allah Swt. yang Maha Menilai.  Oleh karena itu, Allah Swt. melarang manusia bersikap atau merasa lebih dari saudaranya. Karena hanya Allah Swt. yang Maha Mengetahui baik buruknya seorang hamba. Allah Swt. juga menganjurkan manusia bersabar. Karena Allah Swt. Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Kekuatan dan kekukuhan-Nya tidak terhingga dan tidak terbayangkan oleh manusia yang lemah dan tidak memiliki daya upaya. Jadi, karena kekukuhan-Nya, Allah Swt. tidak terkalahkan dan tidak tergoyahkan. Siapakah yang paling kuat dan kukuh selain Allah Swt? Tidak ada satu makhluk pun yang dapat menundukkan Allah Swt. meskipun seluruh makhluk di bumi ini bekerja sama. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Sungguh Allah Swt., Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.”  (Q.S. aż-Żāriyāt/51:58)

Dengan demikian, akhlak kita terhadap sifat al-Matin adalah dengan beristiqamah (meneguhkan pendirian), beribadah dengan kesungguhan hati, tidak tergoyahkan oleh bisikan menyesatkan, terus berusaha dan tidak putus asa serta bekerja sama dengan orang lain sehingga menjadi lebih kuat.

5.   Al-Jāmi’

Al-Jāmi’ secara bahasa artinya Yang Maha Mengumpulkan/Menghimpun, yaitu bahwa Allah Swt. Maha Mengumpulkan/Menghimpun segala sesuatu yang tersebar atau terserak. Allah Swt. Maha Mengumpulkan apa yang dikehendaki-Nya dan di mana pun Allah Swt. berkehendak. 

Penghimpunan ini ada berbagai macam bentuknya, di antaranya adalah mengumpulkan seluruh makhluk yang beraneka ragam, termasuk manusia dan lain-lainnya, di permukaan bumi ini dan kemudian mengumpulkan mereka di padang mahsyar pada hari kiamat. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyalahi janji.”(Q.S. Ali Imrān/3:9).

Allah Swt. akan menghimpun manusia di akhirat kelak sama dengan orang-orang yang satu golongan di dunia. Hal ini bisa dijadikan sebagai barometer, kepada siapa kita berkumpul di dunia itulah yang akan menjadi teman kita di akhirat. Walaupun kita berjauhan secara fisik, akan tetapi hati kita terhimpun, di akhirat kelak kita juga akan terhimpun dengan mereka. Begitupun sebaliknya walaupun kita berdekatan secara fisik akan tetapi hati kita jauh, maka kita juga tidak akan berkumpul dengan mereka.

Oleh sebab itu, apabila di dunia hati kita terhimpun dengan orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di akhirat kelak kita akan berkumpul dengan mereka di dalam neraka. Karena orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, tempatnya adalah di neraka.

Begitupun sebaliknya, apabila kecenderungan hati kita terhimpun dengan orang-orang yang beriman, bertakwa dan orang-orang saleh, di akhirat kelak kita juga akan terhimpun dengan mereka. Karena tidaklah mungkin orang-orang beriman hatinya terhimpun dengan orang-orang kafir dan orang-orang kafir juga tidak mungkin terhimpun dengan orang-orang beriman.

Allah Swt. juga mengumpulkan di dalam diri seorang hamba ada yang lahir di anggota tubuh dan hakikat batin di dalam hati. Barang siapa yang sempurna ma’rifatnya dan baik tingkah lakunya, maka ia disebut juga sebagai al-Jāmi’. Dikatakan bahwa al-Jāmi’ ialah orang yang tidak padam cahaya ma’rifatnya.

6.   Al-‘Adl

Al-‘Adl artinya Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan oleh siapa pun.  Keadilan Allah Swt. juga didasari dengan ilmu Allah Swt. yang MahaLuas. Sehingga tidak mungkin keputusan-Nya itu salah.  Allah Swt. berfirman:
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’ān, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. alAn’ām/6:115).

Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Orang yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang menunjukkan orang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga dimaknai sebagai penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Allah Swt. dinamai al-‘Adl karena keadilan Allah Swt. adalah sempurna. Dengan demikian semua yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah Swt. sudah menunjukkan keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak di antara kita yang tidak menyadari atau tidak mampu menangkap keadilan Allah Swt. terhadap apa yang menimpa makhluk-Nya. Karena itu, sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita harus dapat memperhatikan dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan dinilai. Akal manusia tidak dapat menembus semua dimensi tersebut. Seringkali ketika manusia memandang sesuatu secara sepintas dinilainya buruk, jahat, atau tidak adil, tetapi jika dipandangnya secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau keadilan. Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, namun jika berada di tengah-tengah wajah seseorang dapat terlihat indah. Begitu juga memotong kaki seseorang (amputasi) terlihat kejam, namun ketika dikaitkan dengan penyakit yang mengharuskannya untuk dipotong, hal tersebut merupakan suatu kebaikan. Di situlah makna keadilan yang tidak gampang menilainya.

Allah Swt. Mahaadil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang sama dan sederajat. Tidak ada yang ditinggikan hanya karena keturunan, kekayaan, atau karena jabatan. Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah Swt. hanya diukur dari seberapa besar mereka berusaha meningkatkan takwanya. Makin tinggi takwa seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan oleh Allah Swt., begitupun sebaliknya.

Sebagian dari keadilan-Nya, Dia hanya menghukum dan memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan maksiat atau dosa. Istilah dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak dikenal dalam syari’at Islam. Semua manusia di hadapan Allah Swt. akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri.

Lebih dari itu, keadilan Allah Swt. selalu disertai dengan sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak seseorang berniat berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan dalam amal perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa selagi masih berupa niat berbuat jahat. Sebuah dosa baru dicatat apabila seseorang telah benar-benar berlaku jahat.

7.   Al-Ākhir

Al-Ākhir artinya Yang Mahaakhir yang tidak ada sesuatu pun setelah Allah Swt. Dia Mahakekal tatkala semua makhluk hancur, Mahakekal dengan kekekalan-Nya. Adapun kekekalan makhluk-Nya adalah kekekalan yang terbatas, seperti halnya kekekalan surga, neraka, dan apa yang ada di dalamnya. Surga adalah makhluk yang Allah Swt. ciptakan dengan ketentuan, kehendak, dan perintah-Nya. Nama ini disebutkan di dalam firman-Nya:
Artinya: “Dialah Yang Awal dan Akhir Yang ¨ahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu “. (Q.S. al-Hadid/57:3).

Allah Swt. berkehendak untuk menetapkan makhluk yang kekal dan yang tidak, namun kekekalan makhluk itu tidak secara zat dan tabi’at. Karena secara tabi’at dan zat, seluruh makhluk ciptaan Allah Swt. adalah fana (tidak kekal). Sifat kekal tidak dimiliki oleh makhluk, kekekalan yang ada hanya sebatas kekal untuk beberapa masa sesuai dengan ketentuan-Nya.

Orang yang mengesakan al-Ākhir akan menjadikan Allah Swt. sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selain-Nya, tidak ada permintaan kepada selain-Nya, dan segala kesudahan tertuju hanya kepada-Nya. Oleh sebab itu, jadikanlah akhir kesudahan kita hanya kepada-Nya. Karena sungguh akhir kesudahan hanya kepada Rabb kita, seluruh sebab dan tujuan jalan akan berujung ke haribaan-Nya semata.

Orang yang mengesakan al-Ākhir akan selalu merasa membutuhkan Rabb-nya, ia akan selalu mendasarkan apa yang diperbuatnya kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya, karena ia mengetahui bahwa Allah Swt. adalah pemilik segala kehendak, hati, dan niat.

Pesan-Pesan Mulia

Kisah Nabi Ibrahim as. Mencari Tuhan

Nabi Ibrahim as. adalah putra Azar. Ia dilahirkan di wilayah Kerajaan Babylonia yang saat itu diperintah oleh Raja Namrud. Namrud adalah raja yang sangat sombong yang mengaku dirinya adalah Tuhan. Raja Namrud juga dikenal sangat kejam kepada siapa saja yang menentang kekuasaannya.

Suatu saat ia bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia melihat seorang anak laki-laki yang memasuki kamarnya kemudian mengambil mahkotanya. Maka, ia pun memanggil tukang ramal yang sangat terkenal untuk mengartikan mimpinya tersebut. Tukang ramal mengartikan bahwa anak yang hadir dalam mimpinya tersebut kelak akan meruntuhkan kerajaannya. Mendengar hal tersebut, Namrud murka. Diperintahkannya kepada seluruh tentara kerajaan agar membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan.

Azar yang istrinya saat itu sedang mengandung bayi yang kelak adalah Ibrahim begitu khawatir akan keselamatan bayi yang dikandung istrinya tersebut. Ia khawatir bahwa bayi yang ada dalam perut istrinya adalah seorang bayi laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan calon bayinya tersebut, diam-diam ia mengajak istrinya ke dalam sebuah gua yang jauh dari keramaian. Di gua itulah kemudian bayi Ibrahim dilahirkan. Agar tidak diketahui oleh khalayak ramai, Azar dan istrinya meninggalkan Ibrahim yang masih bayi di dalam gua dan sesekali datang untuk melihat keadaannya. Hal itu terus dilakukan hingga Ibrahim menjadi anak kecil yang tumbuh sehat dan kuat atas izin Allah Swt. Bagaimana Ibrahim dapat hidup di dalam gua, padahal tidak ada makanan dan minuman yang diberikan? Jawabannya karena Allah Swt. menganugerahkan Ibrahim untuk menghisap jari tangannya yang dari situ keluarlah air susu yang sangat baik. Itulah mukjizat pertama yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as.

Lama hidup di dalam gua tentu membuat Ibrahim sangat terbatas pengetahuannya tentang alam sekitar. Maka, di saat terdapat kesempatan untuk keluar dari gua, Ibrahim pun melakukannya. Betapa terkejutnya ia, ternyata alam di luar gua begitu luas dan indah. Di dalam ketakjubannya itu, Ibrahim berpikir bahwa alam yang luas dan indah berikut isinya termasuk manusia, pasti ada yang menciptakannya. Maka, Nabi Ibrahim berjalan untuk mencari Tuhan. Ia mengamati lingkungan sekelilingnya. Namun, ia tidak menemukan sesuatu yang membuatnya kagum dan merasa harus dijadikan Tuhannya.

Di siang hari, Ibrahim melihat cerahnya matahari menyinari bumi. Ia berpikir, mungkin matahari adalah tuhan yang ia cari. Tetapi ketika senja datang dan matahari tenggelam di ufuknya, gugurlah keyakinan Ibrahim akan matahari sebagai tuhan. Sampai akhirnya, malam pun datang menjelang. Bintang di langit bermunculan dengan indahnya. Sinarnya berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi lebih indah dan cerah. “Apakah ini Tuhan yang aku cari?” Kata Ibrahim dengan gembira. Ditatapnya bintang-bintang itu dengan penuh rasa bangga. Tapi ternyata, ketika malam beranjak pagi, bintang-bintang itu pun beranjak satu per satu. Dengan pandangan kecewa, Nabi Ibrahim melihat satu per satu bintang-bintang itu menghilang. “Aku tidak menyukai Tuhan yang bisa menghilang dan tenggelam karena waktu,” gumamnya dengan perasaan kecewa.

Nabi Ibrahim pun mencoba mencari Tuhan yang lain. Memasuki malam berikutnya, bulan pun muncul dan bersinar memancarkan cahayanya yang keemasan. Ia pun menduga, “Inikah Tuhan yang aku cari?” Maka, ketika pagi datang menjelang, bulan pun hilang tanpa alasan. Seperti halnya terhadap matahari dan bintang, Ibrahim pun memastikan bahwa bukanlah matahari, bintang, dan bulan yang menjadi Tuhan untuk disembah, tetapi pasti ada satu kekuatan Yang Mahaperkasa dan Mahaagung yang menggerakkan dan menghidupkan semua yang ada. Ibrahim pun menyimpulkan bahwa Tuhan tidak lain adalah Allah Swt.

Ketika keyakinan Nabi Ibrahim as. kepada Allah Swt. betul-betul merasuki jiwanya, mulailah ia mengajak orang-orang di sekitarnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala yang tiada memiliki kekuatan apa pun. Dan tidak pula memberi manfaat. Orang pertama yang ia ajak untuk hanya menyembah Allah Swt. adalah Azar, ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat patung untuk disembah. Mendengar ajakan Ibrahim, Azar marah karena apa yang dilakukannya semata-mata apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyangnya dahulu. Azar meminta Ibrahim untuk tidak menghina dan melecehkan berhala yang seharusnya ia sembah. “Wahai saudaraku! Patung-patung itu hanyalah buatan manusia yang tidak dapat bergerak dan tidak memberi manfaat sedikitpun. Mengapa kalian sembah dengan memohon kepadanya?” Demikian ajakan Ibrahim kepada umatnya. Akan tetapi, kaumnya tidak mau mendengarkan dan mengikuti ajakan Nabi Ibrahim as., bahkan mereka mencemooh dan memaki Ibrahim.

Menyadari bahwa ajakannya untuk menyembah hanya kepada Allah Swt. tidak mendapatkan respons dari umatnya, Nabi Ibrahim as. mengatur cara bagaimana melakukan dakwah secara cerdas dan lebih efektif. Maka, tatkala seluruh penduduk negeri termasuk Raja Namrud pergi untuk berburu, Nabi Ibrahim masuk ke dalam kuil penyembahan berhala kemudian menghancurkan semua berhala yang ada dengan sebuah kapak besar yang telah disiapkan. Semua berhala hancur kecuali berhala yang paling besar yang ia sisakan. Pada berhala besar itu, ia gantungkan kapak di lehernya.

Sekembalinya dari perburuan, semua penduduk negeri termasuk Namrud, terkejut luar biasa. Mereka dengan sangat marah mencari tahu siapa yang berani melakukan perbuatan tersebut. Mengetahui bahwa Ibrahimlah satu-satunya lelaki yang tidak ikut serta dalam perburuan, Raja memerintahkan semua tentara untuk memanggil dan menangkap Ibrahim untuk dihadapkan kepada dirinya. Sesampainya di hadapan Raja Namrud, Ibrahim berdiri dengan tegak dan penuh percaya diri.

“Hai Ibrahim, apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?” tanya Raja Namrud.

“Tidak, saya tidak melakukannya,” jawab Ibrahim as.

“Jangan mengelak, wahai Ibrahim, bukankah kamu satu-satunya orang yang berada di negeri saat semuanya pergi berburu?” sergah Raja Namrud.

“Sekali lagi tidak! Bukan aku yang melakukannya, tapi berhala besar itu yang melakukannya,” jawab Ibrahim as. dengan tenang.

Mendengar pernyataan Nabi Ibrahim, Raja Namrud marah seraya berkata, “Mana mungkin berhala yang tidak dapat bergerak engkau tuduh sebagai penghancur berhala lainnya?”

Mendengar pertanyaan Raja Namrud, Ibrahim as. tersenyum kemudian berkata, “Sekarang Anda tahu dan Anda yang mengatakannya sendiri bahwa berhala-berhala itu tidak dapat bergerak dan memberikan bantuan apa-apa. Lalu, mengapa Anda sembah berhala-berhala itu?”

Mendengar jawaban Ibrahim as. yang tidak disangka-sangka, Namrud sebetulnya menyadari hal tersebut. Namun, karena kebodohan dan kesombongannya, ia tetap saja tidak memedulikan argumentasi Ibrahim as. Ia kemudian memerintahkan semua tentaranya untuk membakar Ibrahim hidup-hidup sebagai hukuman atas perlakuannya kepada berhala-berhala yang mereka sembah.

Setelah semua persiapan untuk membakar Ibrahim as. telah lengkap, dilemparkanlah ia ke dalam api yang berkobar sangat besar dan panas. Apa yang terjadi kemudian? Allah Swt. menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan meminta api agar dingin untuk menyelamatkan Ibrahim as. Maka, api pun dingin sehingga tidak sedikit pun Ibrahim as. terluka karenanya. Itulah mu’jizat terbesar yang diterima oleh Nabi Ibrahim, yaitu tidak terluka saat dibakar dengan api yang sangat panas.

Menerapkan Perilaku Mulia

Setelah mempelajari keimanan kepada Allah Swt. melalui sifat-sifatnya dalam al-Asma’u al-Husna, sebagai orang yang beriman, kita wajib merealisasikannya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Perilaku yang mencerminkan sikap memahami  al-Asma’u al-Husna, tergambar dalam aktivitas sebagai berikut:

1.   Menjadi orang yang dermawan
Sifat dermawan adalah sifat Allah Swt. al-Karim (Maha Pemurah) sehingga sebagai wujud keimanan tersebut, kita harus menjadi orang yang pandai membagi kebahagiaan kepada orang lain baik dalam bentuk harta atau bukan.
Wujud kedermawanan tersebut misalnya seperti berikut:
a.   Selalu menyisihkan uang jajan untuk kotak amal setiap hari Jum’at yang diedarkan oleh petugas Rohis.
b.   Membantu teman yang sedang dalam kesulitan.
c.   Menjamu tamu yang datang ke rumah sesuai dengan kemampuan.

2.   Menjadi orang yang jujur dan dapat memberikan rasa aman
Wujud dari meneladani sifat Allah Swt al-Mu’min adalah seperti berikut:
a.   Menolong teman/orang lain yang sedang dalam bahaya atau ketakutan.
b.   Menyingkirkan duri, paku, atau benda lain yang ada di jalan yang dapat membahayakan pengguna jalan.
c.   Membantu orang tua atau anak-anak yang akan menyeberangi jalan raya.

3.   Senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt.
Wujud dari meneladani sifat Allah Swt. al-Wakil dapat berupa hal-hal berikut:
a.   Menjadi pribadi yang mandiri, melakukan pekerjaan tanpa harus merepotkan orang lain.
b.   Bekerja/belajar dengan sungguh-sungguh karena Allah Swt. tidak akan mengubah nasib seseorang yang tidak mau berusaha.

4.   Menjadi pribadi yang kuat dan teguh pendirian
Perwujudan meneladani dari sifat Allah Swt. al-Matin  dapat berupa hal-hal berikut:
a.   Tidak mudah terpengaruh oleh rayuan atau ajakan orang lain untuk melakukan perbuatan tercela.
b.   Kuat dan sabar dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan yang dihadapi.

5.   Berkarakter pemimpin
Pewujudan meneladani sifat Allah Swt. al-Jāmi’ di antaranya seperti berikut:
a.   Mempersatukan orang-orang yang sedang berselisih.
b.   Rajin melaksanakan shalat bejama’ah.
c.   Hidup bermasyarakat agar dapat memberikan manfaat kepada orang lain.

6.   Berlaku adil
Perwujudan meneladani sifat Allah Swt. al-‘Adl misalnya seperti berikut:
a.   Tidak memihak atau membela orang yang bersalah, meskipun ia saudara atau teman kita.
b.   Menjaga diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar dari kezaliman.

7.   Menjadi orang yang bertakwa
Meneladani sifat Allah Swt. al-Ākhir adalah dengan cara seperti berikut:
a.   Selalu melaksanakan perintah Allah Swt. seperti: shalat lima waktu, patuh dan hormat kepada orang tua dan guru, puasa, dan kewajiban lainnya.
b.   Meninggalkan dan menjauhi semua larangan Allah Swt. seperti: mencuri, minum-minuman keras, berjudi, pergaulan bebas, melawan orang tua, dan larangan lainnya.